Kamis, 23 Februari 2012

KORUPSI DALAM TEORI EKONOMI

Disadur dari tulisan:
Okki Trinanda Miaz

Tindakan korupsi di Indonesia seperti jalan yang tak berujung. Terlihat dari peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transperancy International (TII) pada 2011 bertengger di angka 3,00. Dalam indeks tersebut, Indonesia berada di urutan ke-100 bersama 11 negara lainnya, Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname dan Tanzania.Mengapa pemberantasan korupsi sulit dilakukan? Ilmu ekonomi dapat membantu menjelaskan hal tersebut dengan analisis sederhana. Korupsi menjadi isu ekonomi semenjak era Adam Smith. Dia mengamati bagaimana pemerintah Inggris di abad ke-18-19 yang sangat sentralistik dan memiliki kekuatan monopoli atas perdagangan internasional.


Paradigma tersebut berkembang di ranah empiris dan kebijakan pembangunan ekonomi. Akademisi, praktisi kebijakan dan lembaga donor mulai berpikir, korupsi merupakan alasan utama mengapa negara-negara berkembang menderita keterbelakangan dan ketertinggalan (Perdana, 2010).Hal ini merupakan sebuah kemajuan dalam hal studi ekonomi karena sebelumnya, ketiadaan modal fisik dan manusia menjalankan pembangunan selalu dianggap sebagai faktor penyebab negara miskin dan negara maju.Guna menjelaskan mengenai korupsi, para ekonom berangkat dari dua bangun teori (Gordon Tullock). Pertama, teori perburuan rente(rent seeking). Istilah rente di sini merujuk kepada klasifikasi Adam Smith tentang balas jasa faktor produksi.


Contohnya, seseorang yang bekerja akan menerima gaji atau upah, pengusaha akan menerima laba, para pemilik tanah atau bangunan akan menerima sewa dan seterusnya.
Namun, adakalanya pelaku ekonomi berusaha mendapatkan rente dari aset yang bukan miliknya. Bagaimana caranya? Dengan politik dan hukum, karena dalam teori perburuan rente ini sumber dari rente adalah wewenang. Sederhananya, seperti pemerintah yang memiliki wewenang menerbitkan kartu identitas bagi rakyat berupa KTP atau paspor, wewenang untuk melakukan pembelian peralatan militer, atau memberikan fasilitas kepada pihak swasta.
Inilah simpul-simpul yang digunakan untuk mendapatkan rente yang sebenarnya bukan haknya.


Teori kedua, teori atasan-bawahan (principal-agent). Teori ini melihat relasi antara dua pihak yang mengharapkan insentif berbeda dalam situasi informasi yang tidak seimbang atau asimetris. Pihak atasan (principal) memiliki sebuah tujuan yang diinginkan. Guna mencapai tujuan tersebut, ia kemudian mendelegasikan suatu pekerjaan kepada bawahan (agent) dengan insentif tertentu.Permasalahan terjadi ketika atasan tidak dapat mengawasi bawahan setiap waktu, sementara bawahan juga memiliki kepentingan pribadi yang ingin ia penuhi. Di sinilah ruang untuk melakukan korupsi terbuka.Pihak ketiga, bisa mendapatkan keuntungan dengan menawarkan sejumlah imbalan pada bawahan untuk melakukan sesuatu. Walaupun tindakan yang diambil bawahan berbeda dengan apa yang diinginkan atasan.


Teori ini sangat bagus untuk menerangkan kasus korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan, Malinda Dee dan Nazaruddin. Padahal perilaku korupsi sebuah sikap yang tidak rasional jika merujuk kepada hukum biaya-manfaat. Seperti dijelaskan ekonom bernama Gary S. Becker.
Dalam analisis Becker, seseorang yang melakukan korupsi tidak mempertimbangkan antara manfaat, uang yang dia peroleh dari hasil korupsi dengan biaya berupa hukuman yang harus ia tanggung, jika tertangkap dan diadili karena korupsi.


Harus diingat, hukuman pelaku korupsi tidak hanya berupa penjara namun juga sanksi sosial yang harus diterima keluarga sendiri. Secara teoretis, sebenarnya analisa ekonomi dapat digunakan sebagai salah satu senjata untuk memahami dan membedah perilaku korupsi. Seperti dijelaskan di atas, kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan ekonomi adalah keinginan mendapatkan rente yang bukan dari aset yang dimiliki dan lemahnya pengawasan yang dilakukan pemimpin terhadap bawahan yang didelegasikan sebuah pekerjaan.


Selain itu, perlu pula penyadaran kepada para pemegang wewenang, korupsi sebenarnya di luar rasionalitas hukum biaya dan manfaat. Cara pandang dan berpikir ini, dapat menjelaskan banyak hal mengenai kenyataan yang kita temui sehari-hari. Di Indonesia, yang diakui sebagai negara yang kaya sumber daya alam, ternyata sampai sekarang masih tertinggal dari negara-negara lain. Penyebabnya, korupsi oleh para pengelola negara. Maka analisis ekonomi sebaiknya dilengkapi dari analisa kebijakan pembangunan fisik ke pembangunan kelembagaan.